Kabupaten Jayapura Peduli Masyarakat Adat dan Lingkungan

Berita Daerah Keuangan Lingkungan Hidup Pemberdayaan Kampung

[vc_row][vc_column][vc_single_image image=”14349″ img_size=”large”][/vc_column][/vc_row][vc_row][vc_column][vc_column_text]SENTANI, jpr – Kabupaten Jayapura menjadi kabupaten pertama yang menerapkan skema transfer keuangan berbasis lingkungan. Kebijakan ini ditetapkan dalam Peraturan Bupati Jayapura No. 11 Tahun 2019 tentang Alokasi Dana Kampung Kabupaten Jayapura.

 

Masyarakat Jayapura patut berbangga, karena pemerintahannya inovatif dalam memberikan pelayanan pada masyarakat. Menurut riset lembaga The Asia Foundation dan  lembaga bantuan Pemerintah Inggris (UKAid), Kabupaten Jayapura telah menerapkan skema transfer keuangan berbasis lingkungan.

 

Berbeda dengan formula Alokasi Dana Kampung (ADK/ADD) konvensional, ADK Jayapura menambahkan proporsi alokasi insentif dan alokasi afirmasi, selain alokasi dasar dan alokasi proporsional. Indikator ekologi termasuk di dalam proporsi alokasi insentif yang diperoleh dari Indeks Desa Membangun (IDM). Dana Transfer Anggaran Kabupaten berbasis Ekologi (TAKE) bisa digunakan oleh pemerintah kampung untuk mendukung peningkatan kapasitas pemerintahan kampung, pemenuhan layanan dasar, penanggulangan kemiskinan kampung, peningkatan ekonomi kelompok masyarakat dan perlindungan lingkungan hidup.

 

“Hal tersebut terungkap dalam acara “Peluncuran Naskah Kebijakan dan Dialog Publik” yang digelar Pusat Telaah  dan Informasi Regional (PATTIRO) di Hotel Arya Duta Jakarta tanggal 14 November 2019, bertema “Transfer Fiscal berbasis Ekologi”.

 

Dalam buku naskah kebijakan yang disusun tim The Asia Foundation dan UKAid, desebutkan, pada tahun 2019, Jayapura mengalokasikan anggaran ADD sebesar 76 milyar yang terdiri dari alokasi dasar Rp 66 milyar (86%), alokasi proporsional Rp 7 milyar (10%), alokasi affirmasi Rp 2,5 milyar (3%) untuk 34 kampung, dan alokasi insentif kinerja Rp 775 juta (1%) diberikan kepada 37 dari 144 kampung.

 

Selain Kabupaten Jayapura, gagasan memberlakukan insentif ini juga Pemerintah Kalimantan Utara. Gagasan kedua pemerintah ini mendapat apresiasi sebagai terobosan atau inovasi yang memberikan peluang baru skema pembiayaan dalam pengelolaan lingkungan hidup di daerah.

 

“Skema transfer keuangan berbasis lingkungan atau Ecological Fiscal Transfer (EFT) diharapkan dapat meningkatkan kinerja pengelolaan lingkungan hidup menjadi lebih baik dan memungkinkan diadopsi oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten lainnya dengan cara mengintegrasikan skema ini ke dalam berbagai kebijakan pembangunan hijau atau kebijakan perencanaan pembangunan daerah seperti RPJMD yang telah dan akan disusun oleh Pemerintah Daerah.

 

Dukungan Pemerintah Pusat terhadap inovasi skema EFT ini sangat diperlukan agar daerah- daerah lain terpacu untuk menerapkan gagasan serupa, selain mengintegrasikan skema EFT ke dalam kebijakan pusat mengenai pengelolaan keuangan daerah dan transfer pusat ke daerah.

 

Bupati Jayapura Mathius Awoitauw dalam kesempatan memberikan paparannya di forum Pattiro tersebut mengatakan bahwa pada periode pertama pemerintahannya telah melakukan penguatan masyarakat adat dalam program lima tahunnya. Dan program yang sama dilanjutkan pada periode kedua.

Di Papua, menurut Mathius, masyarakat adat itu sudah jadi satu dengan tanah, sehingga tidak bisa dipisahkan.

 

“Jadi kalau mereka sudah kehilangan tanah, berarti mereka sudah kehilangan identitasnya. Karena itu, ini harus menjadi program dari otonomi khusus Papua. Tanah dan hutan pasti dengan semua SDM ada di situ. Ini menjadi dasar agar masyarakat bisa merasakan bahwa pembangunan ini mereka yang menentukan. Karena dari social antropologinya sudah seperti itu,” tutur Mathius.

 

Oleh karena itu Mathius yang berlatar belakang LSM ini menjadikan hal tersebut sebagai dasar untuk menjadikan kemajuan Papua dan masyarakat Jayapura khususnya ke depan. Sehingga dalam transfer dana ke kampung, Pemerintah Kabupaten Jayapura  memperhitungkan kekhususan masyarakat tersebut. Misalnya dengan memberikan porsi  anggaran untuk masyarakat adat dan kemudian masuk formulasi umum, afirmasi dan ekologinya.

 

“Memang menentukan ini bukan hal mudah, ini ilmu baru. Tapi ini didukung penuh oleh masyarakat adat karena menurut mereka ini sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat adat. Dan kita bersyukur ada UU No 6 tahun 2014 tentang desa, itu juga memberi ruang kepada masyarakat adat,” katanya.

 

Dalam Naskah Kebijakan “mengenalkan Skema Insentif Fiskal Berbasis EKologi di Indonesia: TAKE, TAPE dan TANE” tersebut, ditulis di beberapa negara, skema insentif ini dikembangkan melalui transfer fiskal kepada pemerintah di bawahnya (negara bagian atau provinsi) sebagai penghargaan atas kinerja dalam pengelolaan lingkungan hidup termasuk kehutanan. Sebagai contoh di negara bagian Parana, Brasil telah menerapkan skema insentif ini (ecological fiscal transfer, EFT) yang dalam waktu hanya 8 tahun, berhasil meningkatkan total kawasan lindung di Parana dari 637 ribu ha pada 1991 menjadi 1,69 juta ha pada 2000 atau meningkat sekitar 165%. Keberhasilan ini menginspirasi negara-negara bagian lainnya di Brasil dan beberapa negara lain seperti Portugal (2007), India, Jerman, Australia dan Swiss.

 

Di Indonesia, wacana mengenai EFT mulai berkembang dalam 2 tahun terakhir. Dan hingga saat ini, wacana EFT yang dikembangkan melalui skema fiskal yang bersumber dari anggaran pusat masih dalam berbagai proses diskusi untuk penajaman gagasan. Sementara skema EFT yang dikembangkan pada tingkat provinsi dan kabupaten oleh TAF dan jaringan masyarakat sipil sudah mulai berjalan di beberapa daerah yaitu Provinsi Kalimatan Utara dan Kabupaten Jayapura. Beberapa daerah lain sedang dalam proses pembahasan adopsinya, antara lain Papua, Papua Barat, Kalimatan Timur, Riau, dan Aceh untuk skema TAPE dan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten Keerom, Kabupaten Supiori dan Kabupaten Kubu Raya untuk skema TAKE.[/vc_column_text][/vc_column][/vc_row]

Tinggalkan Balasan