Melihat tindakan kekerasan seksual yang terjadi diberbagai daerah di Indonesia juga sampai pada Daerah Papua. Dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP dan PA) Republik Indonesia (RI) telah mengeluarkan seruan mengenai hukum Kastrasi yang akan dilauncing pada bulan Desember 2015 ini. Bagaimana tanggapan Kepala BP3AKB Kabupaten Jayapura?
Kejahatan selalu dapat terjadi karena adanya kesempatan. Mungkin kalimat ini yang paling tepat untuk disampaikan takalah, kejadian-kejadian kejahatan yang terjadi disekitarnya, terutama kejahatan kekerasan seksual atau bahasa krennya Asusilah terhadap wanita dan bahkan bagi anak-anak dibawah umur.
Di Provinsi Papua, khususnya di Kabupaten Jayapurapun terdapat kekerasan terhadap wanita dan anak, hal ini disebabkan karena social ekonomi budaya masyarakat setempat yang masih melekat begitu kuat. Salah satu contoh dari segi budaya sebut saja, pembayaran mas kawin, selain sebagai alat pembayaran bagi kaum pria terhadap wanita tetapi juga sering diartikan sebagai pembelian wanita tersebut dari keluarga secara tak langsung.
Nah, hal ini yang menyebabkan sang pria dapat sewenang-wenang terhadap kaum wanita karena telah merasa dimiliki dengan alat mas kawin yang telah diberikan. Selain itu penyerapan teknologi dan nilai pendidikan yang begitu rendah juga lingkungannya terkadang membuat pelaku tindakan kekerasan terhadap winita dan anak sering terjadi. Sehingga tak disadari bahwa mereka telah merusak masa depan dari anak tersebut.
Yang lebih disayangkan, pelaku kekerasan yang sering melakukan tindakan bejat bukan mereka yang tak dikenal tetapi orang terdekat yang sangat dikenal oleh si korban sehingga hal ini yang mendorong pemerintah berupaya untuk memberikan evek jerat yang seberat-beratnya bagi si pelaku kekerasan.
Provinsi Papua ditunjuk sebagai wilayah pertama di Indonesia untuk dapat memberlakukan eksekusi Kastrasi bagi para pelaku kejahatan seksual, terutama terhadap anak dibawah umur.
Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (BP3AKB) Kabupaten Jayapura, Dra Maria Bano ketika ditemui oleh wartawan Cepos di ruang kerjanya, menyikapi hal itu sangat baik tetapi kembali lagi melihat unsure Hak Asasi Manusia (HAM) harus lebih dikedepankan dalam kasus ini.
“Kita boleh memberikan kebijakan tetapi di Republik Indonesia banyak sekali aturan yang mengatur mengenai manusia ciptaan Tuhan. Dari sisi agama, HAM itu perlu diperhatikan dan di pertimbangkan lagi berapa jumlah kekerasan yang terjadi terhadap wanita dan anak begitu pula sebaliknya kekerasan terhadap pria (dewasa).
“Kalau dari sisi Agama dan HAM itu perlu kita pertimbangkan lagi. Apakah ada data-data yang akurat dari Prov Papua yang menjadi acuan sehingga kita dapat melihat berapa angka pemerkosaan terhadap anak sehingga perlu kita akumulasi data terpilih yang menjadi dasar untuk melakukan kastrasi di Papua.
“Ia menyampaikan, konteks kastrasi (pengebirian) saat ini harus dapat melihat dan sekaligus membedakan antara binatang (hewan) dan manusia untuk dapat memberlakukan hukuman itu dalam rangka memberikan efek jerat bagi si pelaku.
“Karena pemberlakuan kastrasi(pengebirian) ini hanya untuk hewan seperti babi, anjing, kambing, domba, sapi supaya tidak lagi memberikan keturunan dan hewan-hewan tersebut untuk diperoleh perbaikan mutu daging yang kemudian untuk di jual, dapat menghilangkan bau pada daging yang kurang disenangi oleh konsumen, juga dilakukan pada ternak-ternak jantan yang nakal, menciptakan tenaga kerja yang kuat dan menghilangkan sifat-sifat nakal.
Wanita kelahiran 1958 itu menyatakan supaya adanya satu kesepahaman antara penegak hukum dan juga Kementerian PP dan PA dalam memberikan destinasi hukum bagi pelaku kekerasan seksual terhadap wanita dan anak dibawah umur.
“Data tindak kekerasan yang terjadi dan dasar hukum harus kuat dalam memberlakukan hukum Kastrasi bagi si pelaku tindak kekerasan seksual. Karena bagi orang Papua kastrasi itu bukan dilakukan untuk manusia tetapi untuk hewan.
Walaupun saat ini, kelakuan manusia sudah lebih buas dari hewan sehingga hukuman-hukuman binatang juga harus diterapkan kepada manusia untuk memberikan hal yang setimpal baginya untuk perbuatanya.
“ Dari sisi agama dan kemanusiaan harus diperhatikan dan diperhitungkan. Walaupun saya menyadri bahwa pasti ada pro dan kontra. Kalau memang hal ini dapat diterapkan nantinya,” aku Maria Bano.
Saat disinggung, kebijakan ini ditolak olehnya. Menurutnya, dirinya tidka menolak tetapi harus kembali melihat sekaligus mempertimbangkan efek yang akan ditimbulkan dari perlakuan hukum tersebut.
“Saya tidak menolak, tetapi untuk memberikan efek jera saya setuju. Namun, harus dipertimbangkan lagi untuk memperlakukan hukuman itu dengan mengacu pada hukum positif yang selama ini telah diterapkan tetapi masih melakukan tindakan bejat itu”, bebernya.
Meski begitu, dia beranggapan bahwa pelaku yang tetap melakukan hal sekeji itu walaupun dengan hukuman positif yang telah diterapkan adalah perbuatan keji yang tak bermoral dan bermartabat yang dilakukan olehnya.
“Saya percaya tidak semua laki- laki melakukan hal sekeji itu. Kalau kita melihat dari kacamata kemanusiaan, mungkin saja dia (pelaku) melakukan itu karena memiliki masa lalu yang kelam dan beranggapan membalasnya terhadap oranglain supaya apa yang dirasakan dapat pula dirasakan oleh orang lain,” tutupnya.